Selasa, 27/02/2018, 10:58:39
Energi Melimpah Masyarakat Resah
Oleh: Novita Fauziyah, S.Pd

Ilustrasi

KAWASAN lereng Gunung Slamet kini tampak berbeda. Truk pengeruk dan alat berat keluar masuk kawasan. Ya, mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang dananya 75 juta dollar AS sedang berjalan.

Dikutip dari news.detik.com, PT Sejahtera Alam Energi (PT SAE) merupakan pengembang proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Baturraden yang ada di Lereng Selatan Gunung Slamet, di Kabupaten Banyumas. Proyek tersebut di wilayah Desa Sambirata, Kecamatan Cilongok. Listrik yang dihasilkan nantinya akan dijual ke PLN. Proyek ini dimulai dengan survey dan dilanjutkan pengeboran di dua titik.

Menurut Area Manajer PT SAE, selama 60 hari bor akan tegak lurus masuk ke dalam perut bumi hingga 3.500 meter. Pengeboran pada tahap ini masih tergolong eksplorasi, belum sampai eksploitasi mengambil potensi panas bumi yang ada di Gunung Slamet (satelitpost.com).

Proyek ini menimbulkan reaksi di berbagai kalangan. Dikutip dari jateng.tribunnes.com, Pakar Hukum Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman, Abdul Aziz Nasihuddin menengarai adanya politik hukum perundang-undangan untuk melegalkan pengembangan proyek tersebut.

Dalam UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, PLTPB dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan. Sementara Pasal 38 Ayat 4 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan melarang adanya penambangan terbuka di kawasan hutan lindung.

Namun pemerintah yang mengetahui permasalahan ini membuat UU pengganti dengan menerbitkan UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Pada undang-undang ini, kegiatan PLTP bukan lagi dianggap kegiatan pertambangan, melainkan dikategorikan sebagai jasa lingkungan. Masyarakat di sekitar juga melakukan aksi menuntut agar izin eksplorasi panas bumi dicabut oleh pemerintah.

Dampak yang dirasakan oleh masyarakat sangat terasa. Sungai yang menjadi sumber kebutuhan air bersih kondisinya menjadi keruh. Terjadi krisis air bersih.

Dilansir dari regional.liputan6.com (19/7), hewan-hewan liar di selatan lereng Gunung Slamet lebih sering turun ke lahan pertanian warga, antara lain babi hutan dan kera. Hewan tersebut merusak tanaman di lahan pertanian warga. Dampak tersebut tentu akan bertambah manakala memasuki musim hujan. Daerah resapan makin berkurang dan dapat mengakibatkan sungai menjadi meluap dan banjir.

Fakta yang ada membuktikan bahwa pengelolaan sumber daya alam justru diserahkan kepada pihak swasta. Ini jelas bentuk neoliberalisme yang terjadi di negeri ini. Pemerintah meminimalkan perannya dalam pengelolaan sumber daya alam. Aturan dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi keinginan segelintir orang. Neoimperialisme juga nampaknya tercium dari pengembangan proyek ini. Sebagai informasi, 75% saham PT SAE dikuasai oleh STEAG GmbH asal Jerman.

Bayangkan jika proyek ini menghasilkan keuntungan, maka bukan masyarakat sekitar yang merasakan namun pihak asing. Keputusan untuk bekerja sama mengeksplor tenaga panas bumi wajar saja karena kebijakan pengelolaan SDA carut marut. Ini mengakibatkan negara terkesan kekurangan pasokan sumber energi sehingga mesti membeli dari swasta. Semua karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme.

Penolakan demi penolakan yang muncul dari berbagai kalangan tidak menyurutkan langkah pengembang untuk terus mengeksplorasi kawasan lereng Gunung Slamet. Pemerintah seharusnya mengkaji ulang kebijakan ini apakah benar menguntungkan dengan pasokan energi yang melimpah atau justru banyak menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Tentu bukan kerusakan atau kerugian lah yang ingin kita dapat. Kita membutuhkan aturan yang mengantarkan pada ketentraman hidup masyarakat termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam.

Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam. Persoalan mengenai pemenuhan kebutuhan listrik yang menjadi tanggung jawab negara (PLN) tentu berkaitan dengan bahan baku, infrastruktur, distribusi dan lain-lain. Bahan tambang seperti minyak, batu bara, dan gas merupakan kepemilikan umum, dikelola oleh negara dan tidak dimiliki atau dikelola oleh swasta apalagi perusahaan asing.

Dengan bahan baku yang merupakan sumber daya alam di negeri ini tentu seharusnya negara dapat mandiri, mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri tanpa menyerahkan urusan ini kepada yang lain. Adapun mengenai dampak dari pengelolaan sumber daya alam, negara memiliki kebijakan khusus untuk pengelolaan tanpa meresahkan masyarakat. Semua dibuat dan dikelola sedemikian rupa sesuai dengan aturan yang memanusiakan karena aturan tersebut memang datang dari Sang Pencipta Manusia.

Semoga dengan adanya fakta di lapangan ini makin membuat sadar masyarakat bahwa pengelolaan sumber daya alam kepada selain negara dapat mengakibatkan kerugian besar dan menciptakan kondisi yang kacau dalam berbagai bidang. Saatnya penerapan aturan Islam dalam berbagai kebijakan agar semua dapat merasakan kebaikannya.

(Novita Fauziyah adalah pendidik, tinggal di Desa Tegalglagah, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes)

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita